Republika Online edisi:
04 Jan 2000

Tiga Desa Diserbu, Wanita Diperkosa di Halmahera Dalam Semalam 800 Muslim Dibantai

JAKARTA -- Ini tragedi kemanusiaan terbesar sekaligus paling menyedihkan di Maluku Utara. Tak kurang dari 800 pria dewasa Muslim tewas dibantai hanya dalam satu malam di tiga desa di Kecamatan Tobelo, Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Sementara, wanita-wanita diperkosa di jalan-jalan.

Tragedi kemanusiaan berbau genocide itu terjadi pada 28 Desember 1999 lalu, yakni di Desa Gurua, Desa Popelo, dan Desa Luari. ''Saya mendapat laporan sekitar 80 persen pria dewasa di tiga kantong Muslim Tobelo dibantai,'' kata Thamrin Amal Tomagola, sosiolog FISIP UI kelahiran Galela, Halmahera, kemarin.

Tiap desa tersebut, lanjut Thamrin, dihuni sekitar 200 sampai 300 kepala keluarga. ''Maka, jumlah penduduk laki-laki yang dibantai sekitar 800 orang,'' katanya. ''Pembantaian itu terjadi secara tiba-tiba, menyusul ketegangan sosial yang terus menyelimuti Halmahera Utara,'' tambahnya.

Menurut Wakil Ketua MUI Maluku Utara, H Adjit bin Taher, sejak ketegangan terjadi pada 26 Desember 1999, hampir 2.000 warga Muslim Tobelo tewas dibantai, dan empat masjid dibakar. Kantor-kantor KUA dan hampir semua sarana berbau Islam juga dibakar. ''Wanita-wanita Muslim juga diperkosa di jalan-jalan,'' katanya. Di wilayah ini Muslim memang minoritas. Dari 50 ribu jiwa penduduk Tobelo, hanya lima ribu yang beragama Islam.

Menurut Thamrin, tanda-tanda akan terjadinya penyerangan terhadap umat Islam di Tobelo sudah tampak pada 25 Desember saat ada konsentrasi massa besar-besaran di Tobelo. Massa yang berasal dari beberapa kecamatan di Halmahera Utara dan Ternate tersebut mencapai sekitar 10 ribu sampai 20 ribu orang.

Tamrin mengaku tidak tahu siapa yang melakukan provokasi untuk melakukan penyerangan ke kantong-kantong Muslim di Tobelo. ''Yang pasti, pada 26 Desember 1999, mereka melakukan penyerangan ke kantong Muslim di kota Tobelo setelah buka puasa,'' katanya.

Pada 28 Desember 1999, menurut Thamrin, rombongan truk yang memuat massa melakukan konvoi di jalanan. Mereka diduga berasal dari kelompok yang sebelumnya melakukan perayaan Natal di Tobelo pada 25 Desember. Massa ini tidak hanya berasal dari tiga Kecamatan di Halmahera Utara, yaitu Tobelo, Galela, dan Jailolo, tetapi juga datang dari Kecamatan Kao, Pidiwang, dan warga Kristen Ternate yang mengungsi ke Tobelo.

Ketika melakukan konvoi, lanjut Thamrin, pemimpin massa terus melakukan agitasi melalui pengeras suara dari atas truk. Mereka tidak melakukan aksi apa-apa ketika melewati kampung atau desa Kristen. Namun, katanya, ketika melewati kampung Muslim, massa segera turun dari truk. Mereka menyiram rumah penduduk dengan bensin dan membakarnya. ''Saat itulah, penduduk ke luar rumah dan mereka membantai para pria dewasa,'' katanya.

Selain menyerang penduduk Muslim, tambah Thamrin, warga Kristen juga menyerang warga keturunan Cina. Warga Muslim dan Cina yang terdesak berlari ke Masjid Jami di Kampung Gamsuni dan Masjid di Kampung Dufa-Dufa untuk mendapatkan perlindungan. Namun, massa terus mengepung warga yang berada di dalam masjid. ''Mereka lalu menyiram masjid dengan bensin dan membakar penduduk di dalamnya hidup-hidup. Peristiwa ini menewaskan sekitar 250 orang,'' katanya.

Thamrin mengungkapkan sejak konflik bernuansa SARA meledak di Kecamatan Makian Malifut pada 18 Agustus 1999 lalu, warga yang tewas mencapai sekitar 2.500 orang. Ketegangan yang terjadi di Halmahera Utara bermula ketika warga Kao yang Kristen berhasil mengusir warga Makian Malifut yang Muslim dari desa-desa mereka ke Pulau Ternate.

Sebagai pembalasan, warga Muslim melakukan pengusiran kepada warga Kristen di Ternate yang selanjutnya mengungsi ke Sulawesi Utara dan ke wilayah Halmahera Utara yang penduduknya mayoritas Kristen. Konflik sosial yang kini berubah menjadi perang agama di ujung utara Pulau Halmahera tersebut, ungkap Thamrin, adalah kelanjutan dari konflik di Kecamatan Makian Malifut 18 Agustus lalu.

Kini, ungkap Thamrin, warga Muslim di Halmahera utara dalam kondisi terjepit. Mereka terusir dari Kecamatan Tobelo dan Kecamatan Kao. Hanya sekitar 3.000 orang masih bertahan di Kecamatan Galela yang memang mayoritas Muslim. Sekitar 5.000 penduduk telah mengungsi ke Ternate. Sebanyak 400 pemuda, ujar Thamrin, bertekad mempertahankan Kota Soa Siu. ''Selain itu, desa-desa kantong Muslim di Kecamatan Jaelolo saat ini dikepung warga Kristen,'' tambahnya.

Pemerintah dan Komnas HAM Lamban

Walau konflik sosial di Halmahera Utara sangat tragis karena menelan ribuan jiwa, Tamrin melihat respons pemerintah pusat sangat lamban dalam mengantisipasi masalah ini. TNI, aku Thamrin, memang langsung memberikan bantuan tambahan pasukan dari Malang, Solo dan Madiun. Namun, lanjutnya, dari pemerintah sipil, tidak ada bantuan nyata untuk mengatasi masalah sosial di daerah tersebut. ''Saya belum melihat adanya koordinasi dan perencanaan yang rapi dari pemerintah sipil. Bantuan nyata justru datang dari LSM-LSM setempat,'' ujarnya.

Selain lambannya reaksi pemerintah sipil, Thamrin juga menyesalkan kurang responsifnya Komnas HAM menyikapi pelanggaran luar biasa hak asasi manusia di Halmahera Utara ini.

Untuk menggambarkan betapa dahsyatnya pelanggaran HAM di Halmahera Utara ini, Thamrin mengingatkan bahwa konflik baru berjalan sekitar lima bulan sudah menelan korban sekitar 2.500 orang. Sedangkan konflik Ambon baru menelan sekitar 1.200 jiwa untuk kurun waktu sekitar satu tahun. ''Komnas HAM hanya datang pada konflik pertama pada 18 Agustus 1999. Sedangkan untuk konflik pada 26 November 1999 dan akhir Desember 1999 mereka tidak juga membentuk tim khusus,'' katanya.

Dari laporan yang terus ia terima, Thamrin mengemukakan ketegangan terus terjadi di Halmahera Utara kendati ada tambahan pasukan. Pasukan jihad dari kelompok Muslim kini berkumpul di mulut wilayah Halmahera Utara untuk melancarkan serangan balasan. Mereka datang dari Tidore, Ternate, Bacan, Sanana, Galela, dan Halmahera Selatan. ''Pemerintah harus segera membentuk tim khusus termasuk mengusut pelanggaran HAM besar-besaran itu. Ini sudah menjadi tragedi kemanusiaan,'' tandasnya.

Soal itu, Pangdam XVI/Pattimura Brigjen TNI Max Tamaela, sebagai pemegang Komando Pengendalian (Kodal) penyelenggaraan keamanan dan ketertiban umum (Kamtibum), mengaku akan mempertaruhkan jabatan untuk menghentikan pertikaian bernuansa SARA itu. ''Saya pertaruhkan jabatan Pangdam untuk berhentinya pertikaian yang berkepanjangan ini. Begitupun perintah Panglima TNI untuk menghentikan tragedi kemanusiaan ini,'' katanya di Ambon, Senin.

Surat perintah pengalihan Kodal dengan Nomor TR/1291/1999 tertanggal 28 Desember, diberlakukan Rabu pagi (29/12), sekitar pukul 06.00 WIT. Dikatakan, Panglima TNI pun memberikan dispensasi untuk meminta tambahan pasukan jika berdasarkan evaluasi lapangan dirasa masih kurang untuk penyelenggaraan Kodal Kamtibum guna menghentikan pertikaian.

''Jadi melihat perkembangan pertikaian yang terjadi akhir-akhir ini, maka dipandang perlu untuk melakukan pelumpuhan tanpa membedakan siapa penyerangnya, karena kenyataannya pola pendekatan maupun negosiasi kurang dipatuhi kedua kelompok massa,'' katanya.

Sementara itu, Bandara Sultan Babullah Ternate mulai Senin ditutup sementara waktu bagi penerbangan komersial untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ditimbulkan sebagai ekses dari rangkaian kerusuhan bernuansa SARA yang melanda Maluku Utara sejak pekan lalu.

 

   

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 2000